Dalam dekade terakhir, perkembangan teknologi digital dan kemajuan pesat platform media sosial telah melahirkan fenomena sosial yang cukup unik dan berpengaruh, yakni keberadaan influencer sebagai sosok yang memiliki kapasitas dan pengaruh besar dalam membentuk opini publik, khususnya di kalangan generasi muda atau remaja. Influencer ini bukan hanya sekadar selebritas atau figur publik tradisional, melainkan individu-individu yang mampu membangun audiens yang luas melalui konten kreatif yang mereka sajikan di berbagai platform digital seperti Instagram, YouTube, TikTok, dan Twitter. Keberadaan mereka memberikan warna tersendiri dalam pola komunikasi dan interaksi sosial yang terjadi di dunia maya. Fenomena ini membawa konsekuensi yang sangat luas dan kompleks, yang berdampak langsung pada gaya hidup, pola pikir, dan nilai-nilai yang diadopsi oleh para remaja, generasi yang sedang berada pada masa pembentukan identitas dan karakter.
Secara terminologis, influencer merupakan seseorang yang memiliki kemampuan untuk memengaruhi perilaku, opini, dan keputusan konsumsi dari kelompok pengikut atau audiensnya melalui platform digital. Influencer bukan hanya dinilai dari jumlah pengikut yang mereka miliki, melainkan juga dari kualitas interaksi dan kepercayaan yang mereka bangun dengan audiensnya (Freberg et al., 2011). Para influencer ini biasanya menciptakan konten-konten yang variatif, mulai dari tutorial, review produk, konten hiburan, hingga kampanye sosial yang memiliki daya tarik khusus bagi para remaja.
Mekanisme pengaruh yang dilakukan influencer biasanya bersifat persuasif dan emosional, karena mereka mampu membangun hubungan interpersonal yang terasa personal dan autentik melalui interaksi langsung, komentar, dan unggahan berkala. Faktor kedekatan emosional ini membuat remaja sering kali menjadikan influencer sebagai panutan atau role model yang patut ditiru, sehingga memengaruhi cara berpikir, bertindak, hingga pilihan gaya hidup mereka.
Tidak dapat dipungkiri bahwa fenomena influencer juga membawa dampak positif yang cukup signifikan, terutama bila dilihat dari sudut pandang pemberdayaan dan edukasi.
Influencer yang secara konsisten membagikan konten-konten edukatif, motivasi, atau gaya hidup sehat dapat menjadi sumber inspirasi yang sangat kuat bagi para remaja. Melalui video, tulisan, atau cerita pribadi, mereka memberikan contoh nyata bagaimana membangun kebiasaan positif, mengembangkan keterampilan, dan menghadapi tantangan hidup dengan sikap optimistis. Contohnya, influencer yang fokus pada topik pengembangan diri, kesehatan mental, dan produktivitas dapat membantu remaja memahami pentingnya menjaga keseimbangan hidup dan membangun rasa percaya diri (Casaló et al., 2018).
Fenomena influencer memungkinkan remaja mendapatkan akses langsung ke berbagai informasi terbaru tentang tren fashion, teknologi, budaya pop, dan gaya hidup dari berbagai belahan dunia secara instan. Hal ini tentu memperluas wawasan mereka sekaligus memberikan kesempatan untuk beradaptasi dan berpartisipasi dalam percaturan budaya global, yang dapat meningkatkan rasa inklusivitas dan keterhubungan sosial.
Fenomena ini juga membuka peluang baru di dunia digital yang sebelumnya tidak terbayangkan, seperti profesi content creator, digital marketer, atau brand ambassador. Remaja didorong untuk mengasah kreativitasnya dalam menciptakan konten orisinal dan membangun personal branding yang kuat, sehingga mereka tidak hanya menjadi konsumen pasif tetapi juga pelaku aktif dalam ekosistem digital.
Meskipun ada banyak manfaat, tidak dapat dielakkan bahwa fenomena influencer juga memiliki dampak negatif yang serius terhadap pola pikir dan gaya hidup remaja jika tidak disikapi dengan bijak.
Salah satu dampak yang paling nyata dan sering muncul adalah munculnya gaya hidup konsumtif yang berlebihan dan cenderung materialistis. Banyak influencer yang mempromosikan produk-produk mewah, gadget terbaru, dan gaya hidup glamor yang sebenarnya tidak selalu terjangkau atau relevan dengan kondisi ekonomi kebanyakan remaja. Paparan terus-menerus terhadap konten seperti ini dapat menimbulkan tekanan sosial yang kuat sehingga remaja merasa kurang berharga atau gagal jika tidak dapat meniru gaya hidup tersebut. Tekanan ini sering berujung pada perilaku konsumtif yang tidak sehat, bahkan utang dan stres psikologis (Marwick, 2015).
Media sosial yang diwarnai oleh influencer sering menampilkan citra diri yang sudah diedit secara digital atau difilter sehingga menciptakan standar kecantikan yang sulit dicapai oleh kebanyakan remaja. Efek ini tidak hanya menimbulkan rasa rendah diri tetapi juga dapat memicu gangguan kesehatan mental, seperti body dysmorphia, depresi, dan kecemasan sosial. Tekanan untuk selalu tampil “sempurna” secara visual bisa menjadi beban berat bagi remaja yang sedang dalam proses pencarian identitas (Fardouly et al., 2015).
Tidak semua influencer menyebarkan nilai-nilai positif atau konten edukatif. Beberapa konten yang viral justru mengandung pesan-pesan negatif, seperti kekerasan verbal, bullying, perilaku tidak sehat, hingga perilaku berisiko seperti penggunaan narkoba atau aktivitas berbahaya lainnya. Konten seperti ini bisa menular dan menginspirasi perilaku negatif di kalangan remaja, terutama yang belum memiliki kontrol diri dan literasi digital yang memadai.
Menghadapi fenomena yang begitu besar dan kompleks ini, diperlukan strategi holistik yang melibatkan berbagai pihak, mulai dari keluarga, sekolah, pemerintah, hingga platform media sosial itu sendiri.
Penting untuk menanamkan pendidikan literasi digital sejak dini agar remaja mampu memilah dan memilih konten secara kritis, memahami mekanisme persuasi di media sosial, serta menyadari konsekuensi dari tindakan mereka di dunia maya. Pendidikan ini juga harus menekankan etika bermedia sosial agar remaja bertanggung jawab dan berperilaku bijak saat berinteraksi di platform digital.
Orang tua dan guru perlu proaktif berdiskusi dan mengawasi penggunaan media sosial oleh remaja. Dengan membangun komunikasi terbuka dan membimbing secara positif, remaja dapat lebih siap menghadapi tekanan sosial dan pengaruh negatif dari fenomena influencer.
Pemerintah dan penyedia platform harus bekerja sama untuk memperkuat regulasi terkait konten yang disebarkan di media sosial. Konten yang berpotensi merugikan harus segera ditindak, dan proses endorsement oleh influencer harus transparan agar pengguna dapat mengenali iklan berbayar.
Diperlukan kampanye kesadaran untuk mengajak influencer dan pengguna media sosial secara umum memproduksi dan menyebarkan konten yang lebih bermakna, edukatif, dan inspiratif. Hal ini bisa membantu membentuk ekosistem digital yang lebih sehat dan produktif.
Fenomena influencer merupakan manifestasi dari perubahan sosial budaya yang dibawa oleh perkembangan teknologi digital dan media sosial. Pengaruhnya terhadap gaya hidup remaja sangat besar dan beragam, dengan sisi positif yang mampu memberdayakan dan menginspirasi, sekaligus sisi negatif yang berpotensi merusak kesehatan mental, nilai-nilai, dan perilaku remaja. Oleh karena itu, kesadaran, literasi, dan pengelolaan yang tepat sangat diperlukan agar pengaruh influencer dapat diarahkan untuk mendukung perkembangan remaja yang sehat, kreatif, dan bertanggung jawab sebagai generasi masa depan bangsa.
Casaló, L. V., Flavián, C., & Ibáñez-Sánchez, S. (2018). Influencers on Instagram: Antecedents and consequences of opinion leadership. Journal of Business Research, 117, 510-519.
Fardouly, J., Diedrichs, P. C., Vartanian, L. R., & Halliwell, E. (2015). Social comparisons on social media: The impact of Facebook on young women’s body image concerns and mood. Body Image, 13, 38-45.
Freberg, K., Graham, K., McGaughey, K., & Freberg, L. A. (2011). Who are the social media influencers? A study of public perceptions of personality. Public Relations Review, 37(1), 90-92.
Marwick, A. E. (2015). Instafame: Luxury selfies in the attention economy. Public Culture, 27(1 75), 137-160.
Tinggalkan Komentar