Di era digital saat ini, media sosial telah menjadi fenomena global yang sangat memengaruhi berbagai aspek kehidupan, terutama bagi kalangan pemuda. Media sosial—platform seperti Instagram, TikTok, Twitter, Facebook, dan YouTube—memungkinkan individu untuk berkomunikasi, berbagi informasi, dan mengekspresikan diri secara instan dan tanpa batasan geografis. Di Indonesia, jumlah pengguna media sosial termasuk yang terbesar di dunia, dengan sebagian besar pengguna berada dalam rentang usia remaja dan dewasa muda. Fenomena ini memunculkan sebuah fenomena baru: ketergantungan atau bahkan kecanduan media sosial.
Ketergantungan ini menimbulkan perdebatan sengit di masyarakat dan kalangan akademik. Apakah media sosial hanya menjadi ancaman yang mengganggu kesejahteraan psikologis dan produktivitas pemuda? Ataukah media sosial juga merupakan peluang yang membuka berbagai pintu kesempatan dan pengembangan diri? Untuk memahami fenomena ini secara utuh, perlu kita telaah berbagai dampak ketergantungan media sosial bagi pemuda, baik dari sisi negatif maupun positif, serta bagaimana cara mengelola dan memanfaatkan media sosial secara bijak.
Ketergantungan media sosial adalah kondisi di mana seseorang merasa sulit untuk mengendalikan penggunaan media sosialnya, bahkan sampai mengabaikan kebutuhan dan tanggung jawab lain dalam hidupnya. Kondisi ini tidak sekadar suka menggunakan media sosial, tetapi sudah masuk dalam kategori perilaku kompulsif yang mirip dengan adiksi (Andreassen, 2015).
Pemuda menjadi kelompok yang sangat rentan terhadap ketergantungan ini karena beberapa alasan:
Mereka tumbuh bersama teknologi digital sehingga media sosial sudah menjadi bagian alami dari kehidupan sehari-hari.
Kebutuhan mereka untuk berinteraksi sosial sangat tinggi, sementara media sosial menyediakan platform yang mudah dan cepat untuk itu.
Media sosial dirancang dengan fitur-fitur psikologis, seperti notifikasi, like, dan komentar, yang memicu pelepasan hormon dopamin—zat kimia yang membuat orang merasa senang dan kecanduan.
Berbagai studi menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan dapat memperburuk kondisi kesehatan mental remaja dan dewasa muda. Twenge et al. (2018) menemukan adanya peningkatan signifikan gejala depresi, kecemasan, dan kesepian yang berkorelasi dengan lama waktu yang dihabiskan di media sosial. Hal ini terjadi karena media sosial sering menjadi arena perbandingan sosial yang tidak sehat, di mana pemuda membandingkan kehidupan mereka dengan gambaran ideal yang diposting orang lain. Hal tersebut menimbulkan rasa tidak cukup, tekanan psikologis, dan perasaan rendah diri.
Selain itu, penggunaan media sosial yang berlebihan seringkali mengganggu pola tidur, yang sangat penting untuk kesehatan otak dan konsentrasi, sehingga memperparah masalah psikologis.
Penggunaan media sosial yang tak terkendali dapat mengalihkan perhatian dan waktu belajar. Junco (2012) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa semakin sering siswa menggunakan media sosial, semakin rendah nilai akademiknya. Media sosial cenderung menjadi sumber distraksi yang terus-menerus, mengurangi kemampuan fokus dan konsentrasi selama belajar atau melakukan tugas sekolah.
Meskipun media sosial memfasilitasi interaksi, ketergantungan media sosial bisa membuat pemuda mengabaikan interaksi tatap muka. Interaksi virtual cenderung lebih dangkal dan kurang memberikan pengalaman emosional dan empati yang mendalam. Keterampilan komunikasi interpersonal yang esensial seperti mendengarkan aktif, membaca ekspresi wajah, dan bahasa tubuh menjadi kurang terlatih.
Pemuda yang kurang sadar akan risiko digital lebih mudah menjadi korban cyberbullying, penipuan, atau penyebaran hoaks yang merugikan. Penggunaan media sosial tanpa kontrol dapat membahayakan reputasi digital dan keamanan pribadi.
Di balik berbagai ancaman tersebut, media sosial juga menawarkan peluang luar biasa yang bisa memberdayakan generasi muda, asalkan digunakan secara bijak dan terarah.
Media sosial telah membuka akses tak terbatas ke berbagai sumber belajar dan informasi dari seluruh dunia. Melalui kanal edukasi di YouTube, webinar di Instagram Live, forum diskusi di Twitter, dan grup belajar di Facebook, pemuda dapat belajar secara mandiri dan terus memperluas wawasan. Greenhow & Lewin (2016) menegaskan bahwa media sosial memfasilitasi pembelajaran informal yang sangat relevan untuk pendidikan abad ke-21.
Media sosial memungkinkan pemuda membangun relasi yang luas, termasuk dengan tokoh profesional, mentor, dan komunitas yang memiliki minat serupa. Ini membuka peluang untuk kolaborasi, magang, dan karier yang lebih baik di masa depan.
Platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube memberikan ruang bagi pemuda mengekspresikan bakat seni, ide kreatif, dan suara mereka. Ini penting untuk perkembangan psikososial dan rasa percaya diri.
Media sosial menjadi alat ampuh bagi pemuda dalam menyuarakan aspirasi, mengorganisasi kampanye sosial, dan berpartisipasi dalam demokrasi digital. Loader et al. (2014) menyebutkan bahwa media sosial memperkuat peran pemuda sebagai agen perubahan sosial.
Agar dampak negatif ketergantungan media sosial dapat diminimalkan dan peluang positifnya dimaksimalkan, diperlukan pendekatan holistik yang melibatkan berbagai pihak.
Pendidikan Literasi Digital
Mengedukasi pemuda tentang cara menggunakan media sosial secara kritis dan etis, mengenali berita palsu, serta menjaga privasi dan keamanan data pribadi.
Manajemen Waktu dan Kontrol Diri
Mendorong pemuda untuk menetapkan batas waktu penggunaan media sosial dan menggunakan aplikasi pengatur waktu agar tidak berlebihan.
Penguatan Aktivitas Offline
Mendorong pemuda untuk aktif dalam kegiatan sosial, olahraga, dan seni di dunia nyata agar keseimbangan sosial terjaga.
Peran Orang Tua dan Guru
Orang tua dan guru harus aktif memberikan contoh penggunaan media sosial yang sehat dan mengawasi perilaku digital anak-anaknya.
Ketergantungan pemuda terhadap media sosial adalah fenomena kompleks yang tidak bisa dilihat dari satu sisi saja. Media sosial bukan hanya ancaman, tetapi juga merupakan peluang besar jika dikelola dengan bijak. Ancaman berupa gangguan kesehatan mental, prestasi, dan hubungan sosial harus diantisipasi dengan pendidikan literasi digital dan pengawasan. Sementara itu, peluang dalam hal pembelajaran, jejaring sosial, ekspresi kreatif, dan partisipasi sosial harus terus didorong.
Dengan upaya bersama dari individu, keluarga, institusi pendidikan, dan pemerintah, ketergantungan media sosial dapat dialihkan menjadi sumber daya yang memperkuat daya saing dan kualitas hidup generasi muda Indonesia di era digital yang semakin maju.
Andreassen, C. S. (2015). Online Social Network Site Addiction: A Comprehensive Review. Current Addiction Reports, 2(2), 175–184.
Greenhow, C., & Lewin, C. (2016). Social Media and Education: Reconceptualizing the Boundaries of Formal and Informal Learning. Learning, Media and Technology, 41(1), 6–30.
Junco, R. (2012). Too Much Face and Not Enough Books: The Relationship Between Multiple Indices of Facebook Use and Academic Performance. Computers in Human Behavior, 28(1), 187–198.
Kuss, D. J., & Griffiths, M. D. (2017). Social Networking Sites and Addiction: Ten Lessons Learned. International Journal of Environmental Research and Public Health, 14(3), 311.
Loader, B. D., Vromen, A., & Xenos, M. A. (2014). The Networked Young Citizen: Social Media, Political Participation and Civic Engagement. Information, Communication & Society, 17(2), 143–150.
Twenge, J. M., Joiner, T. E., Rogers, M. L., & Martin, G. N. (2018). Increases in Depressive Symptoms, Suicide-Related Outcomes, and Suicide Rates Among U.S. Adolescents After 2010 and Links to Increased New Media Screen Time. Clinical Psychological Science, 6(1), 3–17.
We Are Social & Hootsuite (2023). Digital 2023: Indonesia. https://wearesocial.com/digital-2023-indonesia
Tinggalkan Komentar