Info Sekolah
Sabtu, 14 Jun 2025
  • Selamat datang peserta didik baru MTs Negeri 8 Sleman dalam kegiatan Masa Ta'aruf Siswa Madrasah (MATSAMA) Tahun Ajaran 2025/2026
  • Selamat datang peserta didik baru MTs Negeri 8 Sleman dalam kegiatan Masa Ta'aruf Siswa Madrasah (MATSAMA) Tahun Ajaran 2025/2026
28 Mei 2025

Perilaku Konsumsi Informasi Digital oleh Pemuda dalam Era Disinformasi

Rab, 28 Mei 2025 Dibaca 11x

Pendahuluan

Di era digital yang serba cepat dan terkoneksi, pemuda memiliki akses yang luar biasa luas terhadap informasi. Dengan hanya beberapa ketukan di layar gawai, jutaan konten dari seluruh dunia dapat diakses dalam hitungan detik. Namun, kemudahan ini menyimpan paradoks yang kompleks: di tengah limpahan informasi, kemampuan memilah kebenaran justru semakin diuji. Era digital telah melahirkan fenomena disinformasi dan misinformasi yang masif, menantang kemampuan literasi media generasi muda dan membentuk pola konsumsi informasi yang berpotensi membahayakan tatanan sosial, demokrasi, dan integritas berpikir.

Tulisan ini bertujuan untuk membahas secara menyeluruh bagaimana perilaku konsumsi informasi digital oleh pemuda terbentuk dalam lingkungan informasi yang tidak selalu akurat. Selain itu, esai ini juga membedah faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi informasi, konsekuensi sosial dari disinformasi, serta strategi yang dapat ditempuh untuk membangun kesadaran kritis di kalangan pemuda sebagai pengguna digital paling dominan saat ini.


Fenomena Disinformasi di Era Digital

Disinformasi mengacu pada penyebaran informasi yang salah atau menyesatkan secara sengaja untuk mengelabui publik. Ini berbeda dengan misinformasi, yang salah tetapi disebarkan tanpa niat jahat. Disinformasi sering menyasar ruang-ruang publik digital seperti media sosial, aplikasi pesan instan, dan forum daring, yang umumnya merupakan sumber utama informasi bagi pemuda.

Menurut laporan We Are Social & Hootsuite (2024), lebih dari 89% pemuda Indonesia usia 16–24 tahun mengakses berita dan informasi melalui media sosial, khususnya Instagram, TikTok, dan YouTube. Platform-platform ini memiliki algoritma yang menyesuaikan konten berdasarkan preferensi pengguna, tetapi justru dapat menciptakan ruang gema (echo chambers), di mana seseorang hanya terekspos pada sudut pandang yang sama, memperkuat bias dan mempersempit wawasan kritis.

Laporan dari MIT Media Lab (Vosoughi et al., 2018) menunjukkan bahwa informasi palsu menyebar 70% lebih cepat daripada informasi benar, terutama di Twitter. Fakta ini menggarisbawahi bahwa kecepatan dan sensasionalisme sering kali lebih menarik daripada akurasi, dan sayangnya, generasi muda kerap menjadi korban—baik sebagai penerima maupun penyebar.


Karakteristik Konsumsi Informasi oleh Pemuda

Perilaku konsumsi informasi oleh pemuda di era digital ditandai oleh beberapa karakteristik utama:

1. Cepat dan Instan

Pemuda cenderung mengonsumsi informasi dalam bentuk cepat dan visual: headline, video pendek, atau meme. Mereka jarang membaca sumber secara mendalam. Informasi ditangkap sepotong-sepotong, membuat konteks sering kali diabaikan.

2. Multiplatform dan Multisumber

Pemuda tidak lagi bergantung pada satu jenis media. Mereka menerima informasi dari kombinasi media sosial, blog, portal berita, dan bahkan influencer. Ketergantungan terhadap tokoh publik sebagai sumber informasi menciptakan tantangan baru, terutama jika sang tokoh tidak memiliki otoritas di bidang yang dibahas.

3. Afektif, Bukan Kognitif

Pemuda lebih mudah tergerak oleh emosi daripada argumen rasional. Konten yang menimbulkan kemarahan, ketakutan, atau empati cenderung lebih cepat viral. Ini membuka celah besar bagi disinformasi yang dibungkus dengan narasi emosional.

4. Kurangnya Verifikasi

Menurut survei Kominfo dan Katadata Insight Center (2023), hanya 25% generasi muda di Indonesia yang secara aktif memverifikasi informasi sebelum membagikannya. Sebagian besar membagikan konten berdasarkan kepercayaan terhadap sumber atau karena konten tersebut sesuai dengan keyakinan pribadi.


Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumsi Informasi Digital Pemuda

Beberapa faktor yang mendorong pola konsumsi informasi digital pemuda antara lain:

a. Kognitif dan Psikologis

Teori confirmation bias menjelaskan bahwa seseorang cenderung lebih menerima informasi yang sesuai dengan pendapatnya dan menolak informasi yang bertentangan. Hal ini menyebabkan pemuda sering menghindari narasi alternatif, bahkan ketika bukti objektif disajikan.

b. Sosial dan Komunal

Tekanan kelompok dan kecenderungan untuk mengikuti tren (bandwagon effect) membuat pemuda sering membagikan informasi karena ingin menjadi bagian dari komunitas. Identitas digital mereka sering kali dibentuk oleh konten yang mereka konsumsi dan sebarkan.

c. Ekonomi Platform dan Algoritma

Platform media sosial dirancang untuk mempertahankan perhatian pengguna selama mungkin. Algoritma mendorong konten yang viral, bukan yang valid. Akibatnya, konten yang provokatif lebih menonjol dibanding konten edukatif.


Dampak Konsumsi Disinformasi terhadap Pemuda dan Masyarakat

Disinformasi digital bukan hanya masalah individu, melainkan juga ancaman sosial yang serius. Dampaknya meliputi:

  • Polarisasi Sosial
    Pemuda terpecah dalam kelompok ekstrem yang saling menegasikan. Diskursus publik kehilangan ruang tengah yang rasional dan dialogis.

  • Erosi Kepercayaan Publik
    Ketidakmampuan membedakan antara fakta dan hoaks menyebabkan menurunnya kepercayaan terhadap institusi publik, media, dan ilmu pengetahuan.

  • Radikalisasi dan Kekerasan Daring
    Paparan konten ekstrem dapat mendorong pemuda terlibat dalam tindakan radikal, baik secara ideologis maupun fisik, seperti persekusi, doxing, atau bahkan aksi kekerasan.

  • Kerusakan Psikologis dan Informasi Beracun
    Overload informasi dan paparan konten negatif secara terus-menerus dapat menyebabkan stres, kecemasan, dan kelelahan digital (digital fatigue).


Strategi Menghadapi Disinformasi: Membangun Literasi Digital Kritis

Untuk menghadapi gelombang disinformasi yang mengancam kualitas demokrasi dan kohesi sosial, perlu dilakukan langkah-langkah konkret:

1. Pendidikan Literasi Digital

Integrasi literasi media ke dalam kurikulum sekolah dan universitas sangat penting. Pemuda harus diajarkan cara mengidentifikasi sumber kredibel, memahami bias media, dan melakukan fact-checking secara mandiri. Organisasi seperti MAFINDO (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) telah menyediakan pelatihan semacam ini.

2. Pemanfaatan Teknologi Cerdas

Aplikasi pengecekan fakta seperti TurnBackHoax.id, Google Fact Check Explorer, dan AI pendeteksi hoaks dapat dijadikan alat bantu. Namun, teknologi hanya bermanfaat jika pengguna memiliki kesadaran dan keterampilan digital.

3. Kampanye Kesadaran Publik oleh Pemuda

Pemuda dapat berperan aktif dalam menciptakan kampanye edukatif di media sosial dengan pendekatan kreatif—misalnya melalui video, podcast, dan infografis—untuk menangkal hoaks.

4. Etika Digital dan Tanggung Jawab Sosial

Menumbuhkan kesadaran bahwa setiap klik, bagikan, atau komentar memiliki dampak sosial. Mahasiswa dan siswa perlu memahami bahwa mereka bukan hanya konsumen, tetapi juga produsen informasi yang bertanggung jawab.


Kesimpulan

Perilaku konsumsi informasi digital pemuda di era disinformasi mencerminkan tantangan besar sekaligus peluang untuk membangun masyarakat yang lebih kritis dan sadar informasi. Dalam lautan konten digital yang penuh jebakan, pemuda tidak boleh menjadi korban pasif. Mereka harus menjadi agen perubahan, pembela kebenaran, dan pengawal informasi yang akurat.

Pendidikan literasi digital, pembudayaan verifikasi, dan penguatan kesadaran etis dalam bermedia sosial harus menjadi prioritas nasional, agar generasi muda mampu menavigasi dunia informasi dengan kecerdasan, keteguhan moral, dan keberanian kritis yang memadai.


Daftar Pustaka

  1. Vosoughi, S., Roy, D., & Aral, S. (2018). The spread of true and false news online. Science, 359(6380), 1146-1151. https://doi.org/10.1126/science.aap9559

  2. Katadata Insight Center & Kominfo. (2023). Survei Nasional Literasi Digital 2023.

  3. Nasrullah, R. (2020). Literasi Digital: Pengantar Praktis Memahami Dunia Siber. Kencana.

  4. Wardle, C., & Derakhshan, H. (2017). Information disorder: Toward an interdisciplinary framework for research and policymaking. Council of Europe report.

  5. We Are Social & Hootsuite. (2024). Digital 2024: Indonesia.

  6. UNESCO. (2021). Media and Information Literacy Curriculum for Educators and Learners.

Artikel ini memiliki

0 Komentar

Tinggalkan Komentar

 

Lokasi Madrasah

Our Visitor

6 6 0 6 6 2
Users Today : 367
Users Yesterday : 1060
Users This Month : 10879
Users This Year : 96724
Total Users : 660662
Views Today : 638
Who's Online : 3