Globalisasi adalah sebuah keniscayaan di era modern yang membawa dunia menjadi satu kesatuan tanpa batas melalui pertukaran informasi, budaya, teknologi, dan ekonomi yang semakin masif. Fenomena ini, di satu sisi, telah membuka peluang luas bagi pertumbuhan ekonomi dan pertukaran ide; namun, di sisi lain juga menimbulkan tantangan besar bagi kelestarian budaya lokal. Globalisasi menyebabkan dominasi budaya global, khususnya budaya Barat, yang menyusup ke dalam kehidupan masyarakat dan perlahan menggeser nilai-nilai, tradisi, serta identitas budaya lokal yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Dalam situasi seperti ini, peran pemuda menjadi sangat strategis dan krusial. Sebagai generasi penerus bangsa yang berada di tengah-tengah dinamika kemajuan teknologi dan modernisasi, pemuda memiliki tanggung jawab moral dan historis untuk menjaga eksistensi budaya lokal. Pemuda tidak hanya menjadi pewaris budaya, tetapi juga agen pelestari, inovator, dan pengembang kebudayaan dalam menghadapi gempuran globalisasi.
Esai ini akan menguraikan secara mendalam peran pemuda dalam pelestarian budaya lokal di tengah arus globalisasi, berbagai tantangan yang dihadapi, serta strategi yang dapat dilakukan agar budaya lokal tetap hidup, relevan, dan dikenal dunia.
Budaya lokal merupakan warisan tak benda yang mencakup adat istiadat, bahasa daerah, kesenian, kepercayaan, nilai-nilai, norma sosial, hingga praktik kehidupan sehari-hari masyarakat setempat. Budaya tersebut menjadi identitas suatu komunitas dan mencerminkan kearifan lokal (local wisdom) yang terbentuk secara historis.
Namun, globalisasi budaya sering kali memunculkan homogenisasi budaya, di mana budaya dominan mengikis keberagaman budaya lokal (Tomlinson, 1999). Budaya pop Barat, misalnya, mudah diterima oleh generasi muda melalui media sosial, film, musik, dan game digital, yang membuat budaya lokal menjadi kurang diminati, bahkan dianggap kuno dan tidak relevan.
Menurut Koentjaraningrat (2009), salah satu penyebab utama pudarnya budaya lokal adalah minimnya kesadaran generasi muda dalam memahami dan mencintai budayanya sendiri. Jika tidak ada upaya aktif dari pemuda sebagai generasi yang adaptif dan dinamis, maka budaya lokal akan kehilangan maknanya, bahkan bisa punah dalam jangka panjang.
Pemuda dapat menjadi agen edukatif yang memperkenalkan dan mengkampanyekan pentingnya budaya lokal kepada sesama generasi muda. Edukasi ini dapat dilakukan melalui media digital seperti konten YouTube, podcast budaya, TikTok edukatif, dan media sosial lainnya yang efektif menjangkau anak muda. Misalnya, banyak pemuda yang membuat konten tentang batik, gamelan, makanan tradisional, dan cerita rakyat dalam format menarik dan kekinian, sehingga mampu memperkenalkan budaya lokal kepada khalayak global.
Pemuda juga memiliki tanggung jawab untuk menjaga keberlangsungan bahasa daerah yang mulai terancam punah. UNESCO (2022) mencatat bahwa lebih dari 40% bahasa daerah di dunia berada dalam status kritis, termasuk beberapa bahasa daerah di Indonesia. Penggunaan bahasa daerah dalam kegiatan sehari-hari, pentas seni, dan tulisan populer merupakan bentuk pelestarian sederhana namun penting.
Pemuda memiliki kreativitas dan daya inovasi yang tinggi untuk memodifikasi budaya lokal agar lebih adaptif dengan perkembangan zaman. Misalnya, menciptakan busana modern berbasis motif kain tradisional (seperti tenun ikat atau songket), membuat aplikasi digital tentang wisata budaya lokal, atau menciptakan game edukatif berbasis cerita rakyat Nusantara. Ini adalah bentuk glokalisasi—globalisasi dengan ciri lokal (Robertson, 1995).
Dalam sektor ekonomi kreatif, pemuda dapat mengembangkan usaha berbasis budaya lokal seperti kuliner tradisional, kerajinan tangan, batik, tari, atau musik daerah yang dipasarkan secara digital. Menurut data Bekraf (2020), subsektor ekonomi kreatif berbasis budaya berkontribusi besar terhadap perekonomian nasional, dan ini dapat menjadi peluang besar bagi pemuda untuk berkontribusi sambil melestarikan budaya.
Banyak komunitas budaya yang digerakkan oleh pemuda, baik di desa maupun di kota, yang aktif mengadakan pelatihan tari tradisional, pementasan wayang, revitalisasi permainan tradisional, hingga festival budaya. Kegiatan komunitas seperti ini tidak hanya memperkuat jati diri budaya tetapi juga membangun solidaritas sosial antar generasi.
Meski peran pemuda sangat penting, mereka juga menghadapi berbagai tantangan dalam melestarikan budaya lokal, di antaranya:
Kurangnya akses dan informasi budaya: Banyak pemuda yang tidak memiliki akses terhadap sumber informasi budaya lokal, baik karena terbatasnya dokumentasi maupun minimnya dukungan pendidikan formal dalam pengajaran budaya lokal.
Stigma kuno terhadap budaya lokal: Budaya lokal sering kali dianggap tidak modern dan tidak sesuai dengan gaya hidup masa kini oleh sebagian generasi muda.
Kurangnya dukungan kebijakan dan infrastruktur: Pemerintah belum sepenuhnya mengintegrasikan pelestarian budaya dalam kebijakan pendidikan dan pembangunan. Infrastruktur budaya seperti sanggar seni, perpustakaan lokal, atau museum daerah pun sering tidak diperhatikan.
Dominasi budaya global melalui media digital: Masifnya budaya global yang lebih menarik secara visual dan tren sering membuat pemuda lebih tertarik pada konten luar daripada konten lokal.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, beberapa strategi dapat dilakukan, antara lain:
Pendidikan formal harus memainkan peran sentral dalam pelestarian budaya, dengan memperkenalkan budaya lokal sejak tingkat PAUD hingga SMA. Pemuda yang mendapatkan pendidikan berbasis budaya lokal akan lebih mengenal dan mencintai identitas budayanya.
Pemuda yang memiliki kemampuan teknologi informasi harus mendorong digitalisasi budaya lokal, baik dalam bentuk e-book, video dokumenter, blog, maupun aplikasi interaktif. Pelestarian budaya secara digital akan memperluas jangkauan dan keterlibatan anak muda.
Pelestarian budaya lokal membutuhkan kerja sama antara generasi tua sebagai pemilik pengetahuan tradisional dan generasi muda sebagai inovator. Kegiatan seperti kelas warisan budaya, kunjungan ke maestro seni, atau pameran kolaboratif dapat menjadi jembatan generasi.
Pemerintah dan masyarakat harus mendukung pemuda untuk menghidupkan kembali ruang-ruang budaya seperti taman budaya, pasar seni, atau panggung terbuka sebagai media interaksi dan ekspresi budaya.
Pemuda memegang peran kunci dalam menjaga eksistensi budaya lokal di tengah arus globalisasi yang terus mengikis batas-batas kultural. Sebagai generasi yang adaptif terhadap teknologi dan perubahan sosial, pemuda tidak hanya dituntut menjadi pelestari budaya, tetapi juga sebagai inovator dan komunikator budaya yang mampu membawa nilai-nilai lokal ke panggung global. Dalam melaksanakan perannya, pemuda perlu dukungan dari keluarga, institusi pendidikan, komunitas, dan negara. Budaya lokal adalah akar dari jati diri bangsa—tanpa pelestarian yang serius, kita akan kehilangan identitas dan kearifan yang menjadi warisan leluhur.
Koentjaraningrat. (2009). Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Tomlinson, J. (1999). Globalization and Culture. University of Chicago Press.
Robertson, R. (1995). Glocalization: Time-space and homogeneity-heterogeneity. Global Modernities.
UNESCO. (2022). World Atlas of Languages. Retrieved from: https://en.unesco.org/world-atlas-languages
Badan Ekonomi Kreatif. (2020). Laporan Tahunan Ekonomi Kreatif Indonesia.
Nasution, S. (2018). Peran Pemuda dalam Melestarikan Budaya Lokal di Era Globalisasi. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 23(1), 1–10.
Tinggalkan Komentar