Di tengah arus informasi yang mengalir deras di era digital, literasi media menjadi kemampuan krusial yang harus dimiliki setiap individu, terutama generasi muda. Literasi media tidak hanya berkaitan dengan kemampuan mengakses informasi, tetapi juga mencakup pemahaman kritis terhadap isi media, kemampuan mengevaluasi kebenaran informasi, serta keterampilan dalam memproduksi konten yang etis dan bertanggung jawab. Dalam konteks ini, anak muda menempati posisi strategis sebagai agen perubahan sekaligus konsumen dan produsen media yang aktif. Mereka memiliki potensi besar dalam membentuk opini publik, menyuarakan isu sosial, serta mengedukasi masyarakat untuk lebih bijak dalam mengonsumsi media.
Menurut Livingstone (2004), literasi media adalah seperangkat kompetensi yang memungkinkan individu untuk menginterpretasikan, mengkritisi, dan berinteraksi dengan pesan-pesan media dalam berbagai bentuk. Literasi media menjadi sangat penting karena kita hidup di era post-truth, di mana informasi palsu (hoaks), disinformasi, dan propaganda menyebar sangat cepat melalui media sosial dan platform digital lainnya.
Sebuah laporan dari UNESCO (2021) menyatakan bahwa rendahnya tingkat literasi media dapat menyebabkan masyarakat rentan terhadap manipulasi informasi dan polarisasi opini publik. Oleh karena itu, meningkatkan literasi media, khususnya di kalangan remaja dan anak muda, menjadi kebutuhan mendesak.
Anak muda merupakan pengguna media digital terbesar. Survei yang dilakukan oleh We Are Social & Hootsuite (2023) menunjukkan bahwa lebih dari 80% remaja mengakses internet setiap hari, terutama untuk mengakses media sosial seperti Instagram, TikTok, dan YouTube. Dalam hal ini, mereka tidak hanya sebagai konsumen informasi, tetapi juga sebagai produsen konten yang dapat menjangkau ribuan bahkan jutaan orang.
Dengan posisi tersebut, anak muda memiliki peluang besar untuk:
Mempromosikan konten edukatif tentang literasi media,
Membongkar hoaks dan disinformasi,
Menjadi role model dalam penggunaan media yang kritis dan etis,
Menggalang kampanye literasi digital melalui platform online.
Anak muda memiliki kekuatan dalam membentuk opini dan perilaku teman sebayanya. Melalui pendekatan peer education, mereka dapat menyampaikan pentingnya berpikir kritis terhadap konten digital secara lebih efektif. Contohnya, program โSiberkreasiโ di Indonesia yang melibatkan influencer muda dalam kampanye literasi digital terbukti meningkatkan kesadaran generasi muda terhadap hoaks dan ujaran kebencian di dunia maya (Kominfo, 2021).
Dengan kreativitas mereka, anak muda dapat membuat konten edukatif tentang literasi media dalam bentuk video pendek, infografis, podcast, atau meme yang menarik dan mudah dipahami. Misalnya, akun TikTok seperti @literasidigitalid berhasil menyampaikan edukasi literasi media dengan pendekatan yang ringan namun substansial.
Anak muda dapat membentuk komunitas atau terlibat dalam organisasi yang fokus pada peningkatan literasi media. Kegiatan seperti pelatihan, workshop, webinar, atau kampanye publik dapat dijalankan oleh dan untuk anak muda. Keterlibatan aktif ini mendorong pembelajaran kolaboratif dan memperluas dampak sosial.
Anak muda juga dapat mendorong institusi pendidikan untuk memasukkan literasi media sebagai bagian dari kurikulum resmi. Keterlibatan dalam forum siswa, OSIS, atau organisasi kampus dapat menjadi jalur untuk mengadvokasi pentingnya pendidikan literasi digital di sekolah-sekolah.
Meskipun memiliki potensi besar, peran anak muda dalam mempromosikan literasi media tidak lepas dari tantangan, antara lain:
Kurangnya akses pelatihan: Tidak semua anak muda mendapatkan pelatihan formal tentang literasi media.
Overload informasi: Sulit membedakan antara informasi yang sahih dan yang manipulatif di tengah banjir informasi.
Kurangnya dukungan kebijakan: Belum banyak regulasi atau kurikulum yang secara spesifik mengajarkan literasi media.
Resistensi dari lingkungan: Dalam beberapa kasus, kampanye edukatif dari anak muda tidak direspons dengan serius oleh masyarakat dewasa.
Namun, tantangan tersebut bukan halangan. Dengan kolaborasi yang tepat, terutama dari pemerintah, lembaga pendidikan, dan sektor swasta, peran anak muda bisa semakin diperkuat.
Didirikan oleh relawan muda, MAFINDO aktif mempromosikan literasi media dan melawan hoaks melalui platform digital dan pelatihan langsung. Mereka juga memiliki program Hoax Buster Tools dan Cek Fakta yang bisa diakses oleh publik secara gratis.
Merupakan jaringan pelajar dan mahasiswa di Asia Tenggara yang bekerja sama dengan UNESCO dalam menyebarkan kesadaran tentang literasi digital dan media. Program-program mereka melibatkan pelatihan langsung, kampanye digital, dan pengembangan modul literasi media untuk remaja.
Peran anak muda dalam mempromosikan literasi media sangat vital di tengah kompleksitas informasi dan dinamika media digital saat ini. Mereka tidak hanya sebagai objek, tetapi juga subjek perubahan sosial yang mampu menyebarkan kesadaran kritis dan etis dalam penggunaan media. Melalui edukasi sebaya, konten kreatif, keterlibatan komunitas, dan advokasi kebijakan, anak muda dapat menjadi agen transformasi yang membangun masyarakat digital yang lebih bijak dan bertanggung jawab. Untuk itu, perlu dukungan lintas sektor agar potensi besar ini dapat dikembangkan secara maksimal.
Livingstone, S. (2004). Media literacy and the challenge of new information and communication technologies. The Communication Review, 7(1), 3โ14.
UNESCO. (2021). Media and Information Literacy: Policy and Strategy Guidelines. Paris: UNESCO Publishing.
We Are Social & Hootsuite. (2023). Digital 2023: Indonesia. [https://wearesocial.com]
Zulaikha, S., & Sugihartati, R. (2021). Strategi literasi digital remaja dalam menangkal hoaks di media sosial. Jurnal Ilmu Komunikasi, 19(1), 1โ12.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). (2021). Gerakan Nasional Literasi Digital: Siberkreasi.
Tinggalkan Komentar