Mahasiswa selalu memiliki peran strategis dalam sejarah perubahan sosial, politik, dan budaya di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Sejak era pergerakan nasional, masa reformasi 1998, hingga berbagai demonstrasi kontemporer, mahasiswa kerap menjadi garda depan dalam menyuarakan keadilan, memperjuangkan hak-hak masyarakat tertindas, dan mengkritisi kebijakan yang dianggap tidak berpihak pada rakyat. Namun, di tengah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu pesat, pola aktivisme mahasiswa mengalami transformasi mendalam.
Digitalisasi tidak hanya mengubah cara berkomunikasi, bekerja, dan belajar, tetapi juga merevolusi bentuk, strategi, serta dampak dari aktivisme sosial mahasiswa. Era media sosial, big data, dan kecerdasan buatan telah menciptakan ekosistem baru di mana gerakan sosial dapat diorganisir, disebarkan, dan dimobilisasi secara lebih cepat, luas, dan efisien. Tulisan ini akan membahas secara mendalam bagaimana digitalisasi telah mengubah peran mahasiswa dalam aktivisme sosial, tantangan yang dihadapi, serta peluang dan tanggung jawab baru yang muncul di era digital.
Sejarah panjang Indonesia menunjukkan bahwa mahasiswa tidak hanya menjadi agen perubahan intelektual, tetapi juga penggerak utama dalam proses demokratisasi. Peristiwa-peristiwa besar seperti:
Kebangkitan Nasional 1908, melalui organisasi Budi Utomo yang sebagian anggotanya adalah pelajar dan mahasiswa,
Sumpah Pemuda 1928, yang dimotori oleh pelajar dan mahasiswa dari berbagai daerah,
Demonstrasi 1966, yang menurunkan rezim Orde Lama,
Reformasi 1998, yang menggulingkan Orde Baru,
semuanya memperlihatkan peran penting mahasiswa dalam mewujudkan cita-cita sosial dan politik yang lebih adil. Pada masa itu, aktivisme masih sangat bergantung pada pertemuan fisik, pamflet, buletin kampus, dan orasi lapangan sebagai media utama penyampaian pesan.
Memasuki abad ke-21, digitalisasi mengubah lanskap aktivisme secara mendasar. Ketersediaan internet, media sosial, dan perangkat komunikasi mobile memungkinkan mahasiswa untuk menyalurkan aspirasi dan mengorganisasi gerakan tanpa batas ruang dan waktu. Beberapa karakteristik aktivisme digital antara lain:
Cepat dan Luas: Aksi sosial dapat menyebar secara viral hanya dalam hitungan jam. Contohnya adalah tagar #ReformasiDikorupsi (2019) yang menjadi trending di Twitter dan memobilisasi ribuan mahasiswa di seluruh Indonesia.
Desentralisasi dan Kolaboratif: Tidak lagi bergantung pada organisasi formal seperti BEM, gerakan sosial kini bisa lahir dari kolaborasi mahasiswa lintas kampus melalui grup daring atau platform kolaboratif.
Kreativitas dan Visualisasi Pesan: Meme, infografis, video pendek, dan kampanye visual menjadi alat utama dalam menyampaikan pesan secara persuasif, khususnya kepada generasi muda yang lebih visual-oriented.
Tekanan Sosial dan Kesadaran Global: Gerakan mahasiswa kini dapat terhubung dengan isu-isu global seperti perubahan iklim, feminisme, hak digital, dan keadilan ekonomi melalui kampanye internasional seperti #FridaysForFuture atau #BlackLivesMatter yang juga direspons oleh mahasiswa Indonesia.
Transformasi peran mahasiswa tidak hanya pada metode aksi, tetapi juga pada substansi, strategi, dan identitas perjuangan. Perubahan tersebut mencakup:
Mahasiswa kini bisa menjadi aktivis tanpa harus turun ke jalan. Petisi online (melalui change.org), kampanye di media sosial, dan aksi boikot digital merupakan bentuk baru aktivisme. Walaupun sering dikritik karena dianggap pasif, aktivisme digital memiliki potensi besar dalam menciptakan kesadaran publik dan menekan pengambil kebijakan.
Digitalisasi memperluas cakrawala mahasiswa. Isu-isu seperti ekologi, HAM, dan kebebasan berinternet tidak lagi dipahami secara lokal, melainkan sebagai bagian dari dinamika global. Hal ini membuat mahasiswa lebih kosmopolit dan terbuka terhadap solidaritas lintas bangsa.
Kemampuan untuk membaca data, menelusuri jejak digital, dan memverifikasi informasi menjadi modal penting bagi aktivis mahasiswa modern. Mereka kini belajar menggunakan Google Trends, analitik media sosial, bahkan AI untuk mengukur opini publik dan efektivitas kampanye.
Media sosial menuntut argumentasi yang kuat dan kredibel. Mahasiswa tidak lagi bisa mengandalkan slogan kosong, tetapi harus menunjukkan data, bukti visual, dan narasi yang logis untuk meyakinkan publik.
Meskipun digitalisasi membuka banyak peluang, terdapat sejumlah tantangan serius yang juga perlu dihadapi mahasiswa:
Disinformasi dan Hoaks
Media sosial rentan terhadap penyebaran berita palsu yang bisa merusak integritas gerakan. Aktivis mahasiswa harus mampu menjadi penyaring informasi dan bukan penyebar propaganda.
Polarisasi dan Cyberbullying
Aktivisme di ruang digital bisa memicu konflik, ujaran kebencian, bahkan serangan pribadi. Mahasiswa harus siap menghadapi tekanan psikologis dari debat yang toksik di ruang maya.
Pengawasan dan Kriminalisasi Digital
Aktivisme daring seringkali mendapat respons represif. Undang-Undang ITE digunakan untuk membungkam kritik. Oleh karena itu, pemahaman tentang hukum digital sangat penting.
Fatigue Digital dan Minimnya Aksi Nyata
Banyak mahasiswa terjebak pada aktivisme simbolik (slacktivism), di mana mereka hanya menyukai, membagikan, atau berkomentar tanpa terlibat secara nyata dalam perubahan sosial.
Agar mahasiswa dapat memaksimalkan perannya dalam aktivisme sosial digital, beberapa strategi perlu dilakukan:
Pendidikan Digital dan Etika Siber
Kampus perlu memasukkan kurikulum literasi digital, keamanan data, etika bermedia sosial, serta advokasi online untuk membekali mahasiswa sebagai aktivis yang cerdas dan bertanggung jawab.
Pembangunan Ekosistem Kolaboratif
Mahasiswa lintas kampus dan komunitas harus membentuk jaringan aktivisme digital berbasis isu dan nilai bersama. Kolaborasi dengan LSM, jurnalis, dan pakar teknologi akan memperkuat pengaruh gerakan mereka.
Integrasi Aksi Online dan Offline
Kampanye digital harus diikuti dengan aksi nyata di lapangan, seperti pendampingan masyarakat, kegiatan advokasi kebijakan, atau kerja sosial komunitas. Ini akan menjaga keberlanjutan dan dampak dari gerakan.
Penggunaan Teknologi Inovatif
Mahasiswa dapat menggunakan platform teknologi seperti chatbot, AI monitoring, dan aplikasi mobile untuk menggerakkan partisipasi publik, penggalangan dana, atau edukasi massal.
Digitalisasi telah mengubah wajah aktivisme mahasiswa secara fundamental. Dari demonstrasi fisik ke kampanye digital, dari pamflet ke infografis, dari orasi ke strategi berbasis data. Mahasiswa tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi harus tampil sebagai arsitek masa depan digital yang berkeadilan. Tantangan baru seperti disinformasi, polarisasi, dan represi digital menuntut kesiapan baru pula: literasi tinggi, etika kuat, dan solidaritas luas.
Di tangan mahasiswa yang kritis, kreatif, dan kolaboratif, digitalisasi bukanlah ancaman, melainkan jembatan emas menuju keadilan sosial yang lebih inklusif dan transformatif.
Castells, M. (2012). Networks of Outrage and Hope: Social Movements in the Internet Age. Polity Press.
Bennett, W. L., & Segerberg, A. (2013). The Logic of Connective Action: Digital Media and the Personalization of Contentious Politics. Cambridge University Press.
Nasrullah, R. (2020). Media Sosial: Perspektif Komunikasi, Budaya, dan Sosioteknologi. Kencana.
Tufekci, Z. (2017). Twitter and Tear Gas: The Power and Fragility of Networked Protest. Yale University Press.
WEF. (2022). Digital Transformation Initiative.
Nugroho, Y. (2012). Citizens in @ction: ICTs and Citizen Action in Indonesia. Manchester University PhD Thesis.
Tinggalkan Komentar