Keluarga merupakan unit sosial terkecil dan fondasi utama dalam membentuk kepribadian, nilai, serta identitas individu. Dalam konteks masyarakat, keluarga juga menjadi lembaga primer yang mentransmisikan nilai-nilai budaya, agama, dan moral kepada generasi berikutnya. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, struktur dan fungsi keluarga mengalami transformasi signifikan akibat perubahan sosial yang begitu cepat dan kompleks. Perubahan sosial—yang mencakup modernisasi, urbanisasi, industrialisasi, globalisasi, dan kemajuan teknologi—telah membawa dampak besar terhadap sistem nilai dalam keluarga.
Dampak ini bersifat ganda: di satu sisi menciptakan peluang dan kebebasan baru, namun di sisi lain menimbulkan tantangan terhadap kohesi keluarga, nilai tradisional, serta peran-peran yang selama ini dijalankan oleh masing-masing anggota keluarga. Oleh karena itu, penting untuk menelaah secara mendalam bagaimana perubahan sosial menggeser nilai-nilai keluarga dan apa implikasinya terhadap masa depan masyarakat.
Perubahan sosial adalah proses modifikasi dalam pola kehidupan masyarakat dari waktu ke waktu. Selo Soemardjan mendefinisikan perubahan sosial sebagai segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat yang memengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai, sikap, dan perilaku (Soemardjan, 1962). Sementara itu, nilai keluarga merujuk pada prinsip, norma, dan keyakinan yang dipegang oleh anggota keluarga dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, seperti saling menghormati, tanggung jawab, solidaritas, dan kesetiaan.
Ketika terjadi perubahan sosial, struktur keluarga, pola pengasuhan, dan hubungan antaranggota keluarga ikut berubah. Misalnya, pergeseran dari keluarga besar (extended family) ke keluarga inti (nuclear family) di kota-kota besar mencerminkan transformasi nilai dan peran yang terjadi.
Modernisasi telah menyebabkan transformasi dari struktur keluarga tradisional menjadi keluarga inti. Ini berdampak pada berkurangnya peran kakek-nenek atau kerabat dalam mendidik anak. Selain itu, peran gender juga mengalami perubahan. Ibu tidak lagi hanya berperan sebagai pengasuh rumah tangga, tetapi juga menjadi pencari nafkah. Perubahan ini sering menimbulkan ketegangan karena redefinisi tanggung jawab yang belum tentu diiringi dengan penyesuaian nilai.
📚 Menurut penelitian oleh Bianchi et al. (2012), terjadi peningkatan signifikan dalam partisipasi perempuan dalam dunia kerja, yang mengubah dinamika peran gender dan distribusi waktu di dalam keluarga.
Globalisasi dan perkembangan teknologi telah mendorong munculnya budaya individualisme, terutama di kalangan generasi muda. Keluarga tidak lagi menjadi pusat utama kehidupan sosial karena banyak anak muda yang lebih terikat secara emosional dengan komunitas daring atau teman sebaya daripada dengan keluarga mereka sendiri.
📖 Putnam (2000) dalam bukunya “Bowling Alone” menunjukkan bagaimana masyarakat modern, terutama di negara maju, mengalami penurunan dalam kohesi sosial dan partisipasi dalam kegiatan berbasis komunitas, termasuk keluarga.
Teknologi digital telah mengubah cara berkomunikasi antaranggota keluarga. Meski teknologi memungkinkan konektivitas tanpa batas, ironisnya banyak keluarga justru mengalami keterasingan emosional. Sering kali terjadi “kehadiran fisik tanpa koneksi emosional” karena masing-masing anggota sibuk dengan gawai mereka.
🧠 Menurut Turkle (2011) dalam bukunya “Alone Together”, teknologi menciptakan ilusi kedekatan, tetapi mengurangi kedalaman hubungan interpersonal.
Perubahan sosial membawa nilai-nilai baru yang terkadang bertentangan dengan nilai tradisional keluarga. Misalnya, meningkatnya angka perceraian, pernikahan terlambat, atau keengganan memiliki anak merupakan gejala perubahan nilai terkait komitmen, kesetiaan, dan tanggung jawab dalam keluarga.
📊 BPS (2022) mencatat peningkatan angka perceraian di Indonesia, dari 306.688 kasus pada 2019 menjadi lebih dari 447.743 kasus pada 2021, sebagian besar karena ketidakharmonisan dan tekanan ekonomi.
Walaupun banyak yang menyoroti sisi negatifnya, perubahan sosial juga membawa manfaat:
Kesetaraan Gender
Perubahan nilai memungkinkan perempuan memiliki peran aktif dalam pendidikan dan ekonomi keluarga, meningkatkan keseimbangan peran dan kemandirian.
Peningkatan Kesadaran Hak Anak dan Perempuan
Nilai-nilai modern membawa pemahaman baru tentang hak-hak anak, kesetaraan, dan pentingnya pengasuhan berbasis kasih sayang, bukan kekerasan.
Keluarga sebagai Agen Pembaruan Sosial
Keluarga kini lebih terbuka terhadap keberagaman, inklusivitas, dan pembentukan identitas yang lebih fleksibel sesuai konteks zaman.
Membangun Komunikasi Inklusif dan Berkualitas
Komunikasi terbuka dan empatik antaranggota keluarga perlu ditekankan untuk mempertahankan kedekatan emosional.
Integrasi Nilai Tradisional dan Modern secara Selektif
Keluarga perlu bersikap selektif dalam menerima nilai baru tanpa mengorbankan nilai-nilai fundamental seperti kejujuran, hormat, dan tanggung jawab.
Penguatan Pendidikan Keluarga
Sekolah dan lembaga sosial dapat memberikan pendidikan tentang pengasuhan, pernikahan sehat, serta pembinaan nilai moral dan spiritual.
Pemanfaatan Teknologi untuk Meningkatkan Kualitas Relasi
Teknologi tidak harus menjadi pengganggu, tetapi dapat digunakan untuk menguatkan relasi—misalnya melalui video call antaranggota keluarga yang berjauhan.
Perubahan sosial merupakan keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Namun, dampaknya terhadap nilai-nilai keluarga harus dikelola secara bijak. Di tengah derasnya arus globalisasi, digitalisasi, dan pergeseran budaya, keluarga tetap memiliki peran sentral dalam membentuk generasi yang berkarakter dan berintegritas. Kunci untuk menjaga nilai keluarga terletak pada kemampuan adaptasi tanpa kehilangan identitas. Memperkuat nilai keluarga bukan berarti menolak perubahan, tetapi menyaring dan menyelaraskan nilai-nilai baru dengan nilai luhur yang telah menjadi warisan budaya dan moral bangsa.
Bianchi, S. M., Robinson, J. P., & Milkie, M. A. (2012). Changing Rhythms of American Family Life. Russell Sage Foundation.
Putnam, R. D. (2000). Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community. Simon & Schuster.
Soemardjan, S. (1962). Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Yayasan Pembangunan.
Turkle, S. (2011). Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other. Basic Books.
Badan Pusat Statistik (BPS). (2022). Statistik Indonesia 2022. www.bps.go.id
Tinggalkan Komentar