Perubahan sosial merupakan bagian tak terpisahkan dari dinamika kehidupan masyarakat. Namun, dalam dua dekade terakhir, kecepatan dan skala perubahan sosial telah meningkat drastis karena pengaruh globalisasi, kemajuan teknologi, dan transformasi budaya. Anak muda—khususnya remaja dan dewasa muda—menjadi kelompok yang paling terdampak karena mereka sedang berada dalam fase pencarian jati diri, pembentukan nilai, dan penyesuaian sosial yang kompleks.
Tekanan dari perubahan nilai, ekspektasi sosial, media digital, hingga struktur keluarga yang berubah menjadi pemicu stres baru yang belum pernah dihadapi generasi sebelumnya. Fenomena ini menyebabkan gangguan mental seperti kecemasan, depresi, hingga isolasi sosial menjadi semakin umum di kalangan anak muda. Data dari World Health Organization (2021) menyebutkan bahwa sekitar 16% beban penyakit dan cedera pada usia 10–19 tahun berasal dari gangguan mental, dan angka ini terus meningkat.
Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk menganalisis secara komprehensif bagaimana berbagai bentuk perubahan sosial memengaruhi kesehatan mental anak muda, faktor-faktor yang memperparah kerentanan mereka, serta solusi yang dapat diterapkan dari sisi pendidikan, keluarga, masyarakat, dan kebijakan publik.
Perubahan sosial mengacu pada modifikasi yang terjadi dalam struktur sosial dan pola relasi dalam suatu masyarakat dari waktu ke waktu (Giddens, 2001). Perubahan ini bisa bersifat mikro seperti pola interaksi antarkeluarga atau bersifat makro seperti transformasi nilai budaya, ideologi, dan sistem ekonomi.
Contoh perubahan sosial yang relevan dengan anak muda saat ini antara lain:
Globalisasi dan homogenisasi budaya
Dominasi teknologi dan digitalisasi kehidupan
Urbanisasi dan perubahan pola hunian
Disrupsi pendidikan dan dunia kerja
Perubahan struktur keluarga (misal: meningkatnya keluarga tunggal dan perceraian)
Meskipun perubahan ini membawa manfaat besar, seperti akses informasi dan pendidikan yang lebih luas, efek samping psikososialnya sering diabaikan, terutama pada generasi muda.
Dalam teori perkembangan psikososial Erik Erikson (1968), masa remaja adalah tahap krusial untuk pembentukan identitas. Namun, perubahan sosial yang cepat, terutama globalisasi nilai dan norma, menimbulkan kebingungan identitas dan disonansi nilai. Anak muda menghadapi dilema antara nilai lokal (misalnya kolektivisme dan norma agama) dengan nilai global (individualisme, kebebasan, ekspresi diri). Ketidakkonsistenan ini memicu konflik internal yang dapat berujung pada stres, krisis identitas, dan gangguan afektif.
“Generasi muda sering mengalami kegagalan integrasi identitas karena mereka tidak mendapat cukup waktu dan dukungan untuk bereksperimen dengan berbagai peran sosial.” (Arnett, 2010)
Kemajuan teknologi digital telah mengubah cara anak muda membangun hubungan dan merepresentasikan diri. Media sosial, meskipun membawa kemudahan konektivitas, menjadi ladang subur bagi perbandingan sosial, cyberbullying, tekanan akan pencitraan diri, dan ketergantungan digital. Studi Twenge et al. (2017) menemukan korelasi kuat antara penggunaan media sosial berlebihan dengan meningkatnya tingkat depresi, kecemasan, dan pikiran untuk bunuh diri di kalangan remaja AS pasca-2010.
Fenomena fear of missing out (FOMO) juga mendorong perasaan rendah diri dan kecemasan kronis. Alih-alih membangun koneksi nyata, anak muda justru merasa lebih kesepian dan terasing meski secara digital mereka “terhubung”.
Perubahan sosial turut mengubah fungsi dan struktur keluarga. Dalam masyarakat modern, jumlah keluarga tunggal dan keluarga dengan kedua orang tua bekerja terus meningkat. Anak muda, terutama remaja, sering kali kehilangan dukungan emosional yang cukup dari rumah. Mereka tumbuh dalam kondisi pengasuhan yang permisif, otoriter, atau bahkan abai, yang semuanya dapat meningkatkan risiko gangguan mental.
Studi Amato (2001) menunjukkan bahwa remaja dari keluarga yang tidak stabil memiliki kemungkinan dua kali lipat lebih tinggi mengalami depresi dibanding rekan sebaya dari keluarga utuh.
Persaingan global mendorong standar akademik dan sosial yang semakin tinggi. Anak muda merasa harus menjadi “serba bisa”: cerdas secara akademik, mahir teknologi, aktif secara sosial, dan mapan secara ekonomi. Tekanan ini menciptakan beban psikologis luar biasa.
Salmela-Aro dan Upadyaya (2014) menemukan bahwa burnout akademik telah menjadi epidemi tersembunyi di kalangan siswa sekolah menengah atas dan mahasiswa di negara-negara maju.
Selain itu, ketidakpastian dunia kerja di tengah otomatisasi dan gig economy menciptakan kecemasan eksistensial di kalangan anak muda yang tidak melihat masa depan yang jelas.
Urbanisasi menyebabkan pola hidup yang individualistik dan kompetitif. Remaja dan anak muda di kota besar sering tumbuh dalam lingkungan yang padat namun tidak ramah secara sosial. Kohesi sosial menurun dan komunitas tradisional tergantikan oleh interaksi virtual. Akibatnya, banyak anak muda merasa sendirian dan terputus dari sistem pendukung yang seharusnya menguatkan kesehatan mental mereka (Cacioppo & Patrick, 2008).
Sekolah bukan hanya tempat untuk transfer ilmu kognitif, tetapi juga tempat untuk penguatan emosional dan sosial. Kurikulum yang menekankan pendidikan karakter, kesadaran emosional (emotional literacy), dan keterampilan hidup sangat dibutuhkan. Program seperti “Mindfulness in Schools” di Inggris terbukti menurunkan kecemasan dan meningkatkan konsentrasi siswa (Weare, 2013).
Orang tua perlu mendapatkan pelatihan dan edukasi tentang kesehatan mental remaja. Komunitas lokal juga harus menyediakan ruang aman bagi anak muda untuk berinteraksi secara positif dan membangun identitas diri yang sehat. Pendekatan berbasis komunitas telah terbukti efektif dalam meningkatkan kesejahteraan psikologis remaja di beberapa studi longitudinal (Resnick et al., 1997).
Anak muda perlu diajarkan digital resilience—kemampuan untuk menggunakan teknologi dengan bijak dan mengelola dampak negatifnya. Kampanye literasi digital, pembatasan waktu layar, dan edukasi tentang bahaya cyberbullying sangat penting.
Pemerintah dan sekolah perlu menyediakan akses konseling yang mudah, gratis, dan stigma-free. Kolaborasi antara psikolog, guru, dan tenaga kesehatan sekolah menjadi kunci pencegahan dan deteksi dini gangguan mental.
Perubahan sosial adalah keniscayaan, namun efeknya terhadap kesehatan mental anak muda tidak boleh diabaikan. Dalam lanskap sosial yang terus berubah, anak muda menghadapi tantangan identitas, tekanan digital, disintegrasi dukungan keluarga, dan ekspektasi sosial yang tinggi. Akibatnya, mereka menjadi lebih rentan terhadap berbagai gangguan mental.
Tantangan ini membutuhkan respons lintas sektor—pendidikan, keluarga, layanan kesehatan, dan kebijakan publik—yang berorientasi pada pencegahan, pemberdayaan, dan inklusi. Hanya dengan kolaborasi dan pendekatan sistemik, kita dapat memastikan bahwa anak muda mampu bertumbuh dengan mental yang sehat dan resilien dalam menghadapi dinamika zaman.
Amato, P. R. (2001). Children of divorce in the 1990s: An update of the Amato and Keith (1991) meta-analysis. Journal of Family Psychology, 15(3), 355–370.
American Psychological Association (APA). (2020). Stress in America: Youth and Mental Health.
Arnett, J. J. (2010). Adolescence and Emerging Adulthood: A Cultural Approach. Pearson Education.
Cacioppo, J. T., & Patrick, W. (2008). Loneliness: Human Nature and the Need for Social Connection. W.W. Norton & Company.
Erikson, E. H. (1968). Identity: Youth and Crisis. W.W. Norton & Company.
Giddens, A. (2001). Sociology (4th ed.). Polity Press.
Resnick, M. D., et al. (1997). Protecting adolescents from harm: Findings from the National Longitudinal Study on Adolescent Health. JAMA, 278(10), 823–832.
Salmela-Aro, K., & Upadyaya, K. (2014). School burnout and engagement in the context of demands-resources model. British Journal of Educational Psychology, 84(1), 137–151.
Twenge, J. M., Joiner, T. E., Rogers, M. L., & Martin, G. N. (2017). Increases in depressive symptoms, suicide-related outcomes, and suicide rates among U.S. adolescents after 2010. Clinical Psychological Science, 6(1), 3–17.
Weare, K. (2013). Developing mindfulness with children and young people: A review of the evidence. Mindfulness, 4(3), 291–307.
World Health Organization. (2021). Adolescent Mental Health. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/adolescent-mental-health
Tinggalkan Komentar