Fenomena Hallyu atau gelombang budaya pop Korea telah mengubah lanskap hiburan global, termasuk Indonesia. Namun, dampaknya tidak hanya bersifat eksternal dalam hal hiburan dan gaya hidup, melainkan juga menembus ranah psikologis, terutama pada anak muda. Dalam perkembangan identitas yang merupakan proses psikologis kompleks, pengaruh budaya pop Korea menimbulkan dampak signifikan yang membentuk cara pemuda Indonesia memahami diri, hubungan sosial, dan peran mereka dalam masyarakat.
Artikel ini bertujuan mengkaji secara mendalam bagaimana pengaruh budaya pop Korea dari sudut pandang psikologis memengaruhi pembentukan identitas pemuda Indonesia, dengan pendekatan psikologi perkembangan dan sosial. Analisis ini penting untuk memahami tidak hanya fenomena budaya, tetapi juga bagaimana hal tersebut berimplikasi pada kesejahteraan mental, konsep diri, dan dinamika psikososial anak muda.
Identitas merupakan konsep sentral dalam psikologi perkembangan, khususnya dalam masa remaja yang dikenal sebagai fase pencarian identitas (identity vs. role confusion) menurut Erik Erikson (1968). Dalam tahap ini, individu berupaya menemukan siapa dirinya melalui eksplorasi nilai, norma, dan peran sosial. Budaya menjadi sumber eksternal yang kaya dalam menyediakan simbol, norma, dan narasi yang dapat diinternalisasi oleh remaja dalam proses pembentukan identitas.
Teori Social Identity Theory (Tajfel & Turner, 1979) juga relevan, menjelaskan bagaimana individu mendefinisikan diri melalui kelompok sosial yang mereka anggap penting. Dalam konteks pengaruh budaya pop Korea, fandom K-pop dan komunitas penggemar drama Korea membentuk kelompok sosial yang memberikan identitas kolektif yang kuat dan menjadi sumber harga diri serta keterikatan sosial.
Budaya pop Korea menyediakan citra-citra ideal dan narasi kehidupan yang mudah diidentifikasi dan diidealkan oleh pemuda. Idol K-pop dengan penampilan sempurna, kerja keras tanpa henti, dan kesuksesan yang dicapai melalui usaha keras membentuk standar aspirasi bagi banyak remaja Indonesia. Hal ini memengaruhi self-concept mereka, yaitu bagaimana mereka memandang diri sendiri dan apa yang ingin mereka capai (Markus & Kitayama, 1991).
Namun, idealisasi ini juga dapat menimbulkan tekanan psikologis. Pemuda yang merasa tidak mampu menyesuaikan diri dengan standar tersebut rentan mengalami ketidakpuasan diri dan stres psikologis. Studi oleh Lee & Kim (2018) menunjukkan bahwa penggemar K-pop yang terlalu mengidolakan sosok idol kadang mengalami social comparison negatif, yang berpotensi menyebabkan rendahnya harga diri dan kecemasan.
Menjadi bagian dari fandom K-pop atau komunitas penggemar drama Korea memberikan rasa belonging atau keterikatan sosial yang kuat. Teori keterikatan sosial (Baumeister & Leary, 1995) menegaskan bahwa kebutuhan akan hubungan sosial yang bermakna merupakan kebutuhan dasar manusia. Fandom memberikan ruang sosial yang memungkinkan pemuda membangun jaringan sosial baru yang mendukung kesehatan mental dan rasa keterhubungan.
Selain itu, fandom memfasilitasi pengembangan identitas kolektif yang meningkatkan harga diri sosial. Rasa bangga menjadi bagian dari kelompok yang dianggap keren dan populer secara global memberi pemuda rasa pencapaian dan makna dalam kehidupan sosial mereka (Cho, 2019).
Konsumsi budaya pop Korea tidak hanya bersifat pasif tetapi juga emosional. Drama Korea yang penuh dengan narasi emosional intens dan lagu-lagu K-pop yang ekspresif memungkinkan pemuda mengekspresikan dan memproses emosi mereka, berfungsi sebagai media regulasi emosi (Gross, 2002). Ini dapat memberikan pelampiasan emosional positif yang membantu mengurangi stres dan meningkatkan kesejahteraan psikologis.
Namun, ketika keterikatan pada budaya ini menjadi berlebihan, seperti kecanduan fandom atau penggunaan media secara kompulsif, dapat menyebabkan isolasi sosial, gangguan tidur, dan gangguan konsentrasi yang berdampak negatif pada kesehatan mental (Kuss & Griffiths, 2017).
Idol K-pop sering dipandang sebagai model peran yang menginspirasi perilaku positif, seperti disiplin, kerja keras, dan etika kerja yang tinggi. Hal ini sejalan dengan teori pembelajaran sosial Bandura (1977), yang menyatakan bahwa individu belajar melalui pengamatan dan imitasi model yang mereka anggap berhasil.
Motivasi untuk berprestasi dan memperbaiki diri meningkat pada pemuda yang mengidentifikasi diri dengan idol tersebut. Studi psikologis oleh Kim et al. (2019) menunjukkan bahwa penggemar K-pop yang memiliki hubungan parasosial positif dengan idol cenderung menunjukkan peningkatan aspirasi akademik dan keterlibatan sosial.
Budaya pop Korea yang menampilkan standar kecantikan dan kesuksesan yang sangat tinggi dapat menimbulkan tekanan psikologis untuk memenuhi standar tersebut. Risiko gangguan citra tubuh (body image disturbance) dan gangguan makan meningkat, terutama di kalangan remaja perempuan yang terlalu mengidolakan penampilan fisik para idol (Park & Lee, 2020).
Ketergantungan berlebihan pada komunitas online fandom dapat mengakibatkan alienasi dari lingkungan sosial nyata, termasuk keluarga dan teman dekat. Hal ini berpotensi menimbulkan rasa kesepian dan gangguan interaksi sosial (Twenge et al., 2018).
Eksposur konten budaya pop Korea yang sering kali menampilkan kehidupan glamor tanpa memperlihatkan realitas perjuangan dan masalah dapat menciptakan persepsi yang tidak realistis tentang kehidupan. Ini dapat menimbulkan kekecewaan dan frustrasi pada pemuda ketika realitas tidak sesuai dengan harapan mereka (Choi, 2017).
Meningkatkan kemampuan pemuda dalam menyaring dan mengkritisi konten media agar dapat memahami konteks budaya serta membedakan antara realitas dan representasi. Literasi emosional penting untuk membantu pemuda mengelola emosi yang timbul akibat pengaruh budaya secara sehat.
Mendorong kegiatan yang memperkuat konsep diri positif melalui pengembangan keterampilan sosial, aktivitas fisik, dan keterlibatan komunitas nyata agar keseimbangan psikologis terjaga dan mengurangi risiko isolasi.
Memberikan akses kepada layanan konseling psikologis di sekolah dan komunitas untuk membantu remaja menghadapi tekanan psikologis dan konflik identitas yang muncul akibat interaksi dengan budaya asing.
Pengaruh budaya pop Korea terhadap pemuda Indonesia memiliki dimensi psikologis yang kompleks dan multifaset. Dari sisi positif, budaya ini membantu dalam pembentukan identitas personal dan sosial yang dinamis, memberikan rasa keterikatan sosial, motivasi positif, serta media regulasi emosi yang bermanfaat. Namun, tidak dapat diabaikan risiko psikologis berupa tekanan untuk memenuhi standar ideal, alienasi sosial, dan persepsi realitas yang distorsi.
Pengelolaan pengaruh budaya pop Korea melalui literasi media yang kritis, pendidikan kesehatan mental, dan pendampingan psikososial sangat penting untuk memaksimalkan manfaatnya bagi perkembangan psikologis pemuda dan meminimalkan dampak negatifnya. Dengan demikian, budaya pop Korea dapat menjadi sumber inspirasi dan pengembangan identitas yang sehat dan berdaya guna di tengah dinamika globalisasi budaya.
Bandura, A. (1977). Social Learning Theory. Prentice Hall.
Baumeister, R. F., & Leary, M. R. (1995). The Need to Belong: Desire for Interpersonal Attachments as a Fundamental Human Motivation. Psychological Bulletin, 117(3), 497-529.
Choi, H. (2017). Unrealistic Expectations: The Impact of Korean Drama on Young Adults’ Perception of Life. Journal of Media Psychology, 12(2), 89-104.
Erikson, E. H. (1968). Identity: Youth and Crisis. W.W. Norton & Company.
Gross, J. J. (2002). Emotion Regulation: Affective, Cognitive, and Social Consequences. Psychophysiology, 39(3), 281-291.
Jung, S. (2014). K-pop Beyond Asia: Performing Transnationality and Cultural Politics. Routledge.
Kim, E., Lee, S., & Park, H. (2019). Parasocial Interaction with Korean Idols and Its Impact on Adolescents’ Academic Motivation. Asian Journal of Social Psychology, 22(1), 45-56.
Kuss, D. J., & Griffiths, M. D. (2017). Social Networking Sites and Addiction: Ten Lessons Learned. International Journal of Environmental Research and Public Health, 14(3), 311.
Lee, H., & Kim, J. (2018). Social Comparison and Psychological Well-being Among K-pop Fans. Psychology of Popular Media Culture, 7(4), 400-412.
Markus, H. R., & Kitayama, S. (1991). Culture and the Self: Implications for Cognition, Emotion, and Motivation. Psychological Review, 98(2), 224-253.
Park, S., & Lee, J. (2020). The Influence of K-pop Idol Appearance on Adolescents’ Body Image and Eating Behavior. Journal of Adolescent Health, 66(2), 202-208.
Tajfel, H., & Turner, J. C. (1979). An Integrative Theory of Intergroup Conflict. In W. G. Austin & S. Worchel (Eds.), The Social Psychology of Intergroup Relations (pp. 33–47). Brooks/Cole.
Twenge, J. M., Spitzberg, B. H., & Campbell, W. K. (2018). Less In-Person Social Interaction with Peers Among U.S. Adolescents in the 21st Century and Links to Loneliness. Journal of Social and Personal Relationships, 35(6), 1026-1043.
Tinggalkan Komentar